Monday, January 6, 2014

Melacak Jejak Teroris Global



Pada malam tahun baru 2004 lalu selain terjadi gelegar suara mercon dan kembang api, konon juga terjadi suara baku tembak di Ciputat antara pasukan Densus 88 Polri dengan kelompok terduga teroris yang mengakibatkan (jika tidak keliru) enam orang terduga teroris tewas. Mereka ini diduga sebagai kelompok teroris yang selama ini menyerang para polisi, hingga ada beberapa polisi yang tewas juga.
Kabarnya, pada saat pemakaman para terduga teroris tersebut ada spanduk keluarga yang memuat kalimat: “Syuhada Ciputat kami akan teruskan perjuangan kalian dengan tetes darah-darah kami. Tidak ada satu tetes pun darah kaum muslimin yang gratis”. Artinya, kasus tersebut menimbulkan dendam di kalangan keluarga dan kelompok para terduga teroris tersebut. Sama halnya dendam para polisi dan keluarganya ketika ada polisi yang dibunuh oleh teroris. Dalam hal seperti itu, Dom Helder Camara mengatakan, “Ketika kekerasan disusul dengan kekerasan, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan.”
Kejadian tersebut bukan satu-satunya kejadian. “Perang” antara Kepolisian dan para teroris sudah lama terjadi. Kita tentu masih ingat gembong teroris bernama Azhari asal Malaysia juga berhasil dibunuh oleh pasukan polisi.
Jejak terorisme
Masalah teror tersebut bukanlah masalah lokal. Jaringan teroris yang ada di Indonesia merupakan bagian dari jaringan global. Lalu, mulai kapan terjadi teror yang kemudian menjadi jaringan terorisme global? Dengan keterbatasan pengetahuan sejarah saya, akan saya coba memulainya dari titik sejarah kolonialisme  dunia.
Namun pertama-tama saya perlu saya sampaikan sebuah hipotesis bahwa spiral teror di dunia yang paling sulit dipatahkan adalah karena faktor agama dan ideologi, sedangkan faktor warna kulit ataupun etnis cenderung lebih mudah berakhir. Barangkali karena faktor warna kulit dan etnik bisa perlahan-lahan lenyap dengan pembauran maupun perkawinan antar etnik.
Johan Galtung (1996), intelektual Amerika Serikat yang menentang invasi rezim Bush ke Irak, dalam bukunya ia bertanya: di mana kita dapat menemukan kunci kekerasan? Ia menjawab sendiri, bahwa kuncinya ada pada agama dan ideologi, karena orang membunuh dengan alasan agama dan ideologi. Namun Galtung juga menyatakan bahwa tidak semua agama bersifat keras. Ada agama yang menganjurkan nonkekerasan.
Menurut saya, teori Galtung itu perlu sedikit diluruskan, bahwa pada agama dan ideologi terdapat tafsir yang bermacam-macam, terdapat mazhab-mazhab pemikiran/tafsir, sehingga dalam sebuah agama juga terdapat mazhab keras dan mazhab nonkekerasan. Begitu pula dalam ideologi juga terjadi yang namanya pembaharuan-pembaharuan maupun mazhab. Marxisme dalam pandangan Soekarno contohnya berbeda dengan Marxisme dalam pandangan Muso. Liberalisme juga mengalami perubahan dengan adanya neoliberalisme. Pancasila di tangan Soekarno berbeda tafsir dengan Pancasila di tangan Soeharto. Dengan demikian, terkait dengan agama dan ideologi, kekerasan terjadi lebih didasari pada paradigma, watak manusia dan motifnya dalam melakukan kekerasan. Ambisi kekuasaan, baik secara politik atau ekonomi menjadi motif dominan dalam terorisme.
Jika kita bertanya, kapan manusia mulai melakukan teror? Kitab-kitab suci agama sudah menggambarkan bagaimana perilaku raja-raja kejam yang meneror rakyatnya sehingga memunculkan perlawanan yang dipimpin para nabi atau rasul yang perlawanan itu juga dengan kekerasan. Dalam kitab Ramayana terjadi perang habis-habisan hingga memunahkan salah satu pihak, tentu dengan kekerasan. Hal itu terjadi karena adanya saling teror, seperti contohnya Rahwana yang menculik Sinta, lalu Hanoman membakar Alengka.
Dalam sejarah kekuasaan Alexander Agung di kerajaan Makedonia melakukan perluasan wilayah kekuasaannya dengan menyerang negara-negara atau bangsa lainnya, tentu dengan kekerasan alias teror. Lalu kerajaan Romawi kuno di Eropa meluaskan wilayah kekuasaannya sampai ke luar Eropa juga dengan kekerasan-kekerasan dan pembunuhan-pembunuhan. Begitu pula kekhalifahan Bani Umayah dan Bani Abasyiah melebarkan kekuasaannya hingga ke sebagian Eropa juga dengan menyerang dan membunuhi bangsa-bangsa yang tidak mau tunduk sukarela. Hingga terjadi Perang Salib yang begitu lama, juga terjadi saling teror.
Setelah Eropa gemilang dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka terjadi Revolusi Industri di Inggris, selanjutnya Inggris melakukan kolonialisasi ke seluruh dunia juga dengan teror-teror dan kekerasan kepada bangsa-bangsa lain yang tidak mau dikuasai. Rekan-rekan Inggris seperti Spanyol, Portugis, Belanda juga melakukan hal yang sama, menguasai dan meneror bangsa-bangsa lain di dunia. Pembasmian terhadap bangsa Indian dan Aborigin adalah teror yang termasuk terbesar dalam sejarah manusia. Tetapi bangsa Indian dan Aborigin mungkin tidak lama menyimpan dendam kepada bangsa kulit putih karena telah banyak terjadi rekonsiliasi dan pembauran. Kita lupa untuk menyebut bahwa bangsa Indian dan Aborigin serta bangsa kulit hitam di Afrika Selatan adalah bangsa yang paling sabar di dunia.
Agama dan ideologi menjadi alat untuk mengobarkan perang atau teror. Kolonialisme Eropa ke seluruh dunia terkenal dengan misi gold, glory and gospel. Ada cita-cita kekayaan, kejayaan dan penyebaran agama. Kapitalisme menjadi ideologi tentang cita-cita kemakmuran yang paling kejam, hingga sekarang. Ia bisa menguasai para pemuka agama dan para pemuka negara.
Dalam sejarah Eropa, bukan hanya kapitalisme yang meneror dunia, tetapi Marxisme mazhab  Stalisnisme di Soviet juga melakukan teror. Siapapun yang menjadi oposisi Stalin akan dibunuh. Siapa yang bertindak sebagai oposisi dianggap sebagai oposan sejarah, ahistoris, ahuman. Galtung mengategorikan ini sebagai homo stalinensis.
Dengan menelisik jejak sejarah terorisme tersebut, kita dapat mengambil sebuah gambaran bahwa sebenarnya terorisme sudah menjadi bagian sejarah manusia sejak kuno hingga modern ini, terutama dengan motif kekuasaan, baik kekuasaan ekonomi, politik dan agama. Ideologi hanya menjadi alat.
Pada zaman Perang Dingin, setelah berakhirnya kolonialisme maka muncul neokolonialisme. Pada masa Perang Dingin tersebut Amerika Serikat (AS) mempunyai agenda atau kepentingan membendung bahkan menghabisi komunisme. Karena itu, AS juga membantu para gerilyawan Afghanistan dari segi dana, peralatan maupun latihan militer, dalam melawan pendudukan Soviet di Afghanistan sejak 1979.
Turut membantu Afghanistan waktu itu juga Arab Saudi, Pakistan dan Cina. Osama bin Laden dari Arab Saudi yang kemudian dikenal sebagai pemimpin AlQaeda termasuk pejuang muslim luar Afghanistan yang membantu perjuangan gerilyawan Mujahidin di Afghanistan, meskipun konon waktu itu partisipasi Osama bin Laden tidak termasuk program bantuan CIA kepada Mujahiddin.
Dalam berita BBC.co.uk tanggal 20 Juli 2004 dijelaskan bahwa Osama bin Laden merupakan penghubung bantuan AS dan Arab Saudi kepada Mujahiddin Afghanistan. Menurut beberapa analisis, Osama bin Laden dilatih oleh CIA. Artinya, sebenarnya organisasi AlQaeda yang disebut sebagai organisasi teroris dunia itu pada mulanya merupakan sekutu AS dalam memerangi komunis Soviet di Afghanistan.
Lalu mengapa kini “seolah” AS menjadi musuh besar AlQaeda? Itu bukan perkara sulit untuk dijawab, sebab setelah kepentingannya berseberangan maka sekutu bisa menjadi lawan. Saat Perang Teluk, AS membantu Irak melawan Iran. Saat itu Saddam Husein menjadi sekutu AS. Tapi kemudian AS menghabisi rezim Saddam Husein setelah dianggap perlu bagi AS untuk memusnahkannya.
Setelah Soviet jatuh, otomatis kekuasaan rezim homo americanus alias homo occidentalis in extrimis (pinjam istilah Galtung) ini perlu alasan-alasan untuk meyakinkan keamanan negaranya dan harus punya alasan-alasan untuk “menaklukkan” bangsa-bangsa lain yang menjadi targetnya. Jika kali ini gagal di Suriah karena dijegal Rusia dan sekutunya maka masih ada waktu dan tenpat lainnya yang harus digarap.
Terorisme abadi
Sistem kerja intelejen global mengenal yang namanya sel terputus. Firqoh-firqoh Islam garis keras yang dididik melakukan kekerasan, berasal dari pesantren-pesantren yang sumber dananya misterius, dengan tafsir dalil-dalil agama yang mengarah pada kekerasan bisa mungkin merupakan sel-sel jaringan yang terputus, yang tidak disadari oleh mereka yang didoktrin menjadi para syuhada dengan janji-janji surga dengan para bidadarinya yang cantik.
Terorisme di Indonesia merupakan bagian dari jaringan global itu. Saya yakin, hukum nasional ini tidak pernah akan dapat menyelesaikan perkara-perkara terorisme. Segala tindakan pemberantasan terorisme juga tidak akan berhenti begitu saja, sebab terorisme akan terus berjalan. Selama para pejuang pelawan terorisme tidak pernah bisa tahu asal bantuan/dana dan tidak mampu menghentikan pasokan dana-dana misterius terhadap sekolah-sekolah kekerasan itu maka produk-produk kekerasan akan terus berjalan.
Dendam-dendam kesumat di tingkat-tingkat bawah terus membara. Perang akan terus berlanjut. Itulah program dari para “lelembut” yang tidak tampak dilihat dengan mata biasa.
Sebenarnya terorisme bukan hanya berupa teror langsung dengan akibat langsung. Kita juga mengalami ecoterorism, seperti contohnya pembasmian pemukiman di wilayah konsesi Blok Brantas Sidoarjo yang dikenal dengan kasus lumpur Lapindo, kasus pembasmian pemukiman di sekitar Buyat Pante Sulawesi Utara di wilayah konsesi Newmont, kasus pembasmian kultur dan komunitas di wilayah konsesi Freeport di Papua, juga teror terhadap warga Aceh di wilayah konsesi Exxon, dan lain-lain. Kasus-kasus teror oleh tirani kapitalisme begitu akan abadi. Dan kita harus mengakui, tidak bisa berbuat apa-apa!