Pada malam tahun baru 2004 lalu selain
terjadi gelegar suara mercon dan kembang api, konon juga terjadi suara baku
tembak di Ciputat antara pasukan Densus 88 Polri dengan kelompok terduga
teroris yang mengakibatkan (jika tidak keliru) enam orang terduga teroris
tewas. Mereka ini diduga sebagai kelompok teroris yang selama ini menyerang
para polisi, hingga ada beberapa polisi yang tewas juga.
Kabarnya, pada saat pemakaman para terduga
teroris tersebut ada spanduk keluarga yang memuat kalimat: “Syuhada Ciputat
kami akan teruskan perjuangan kalian dengan tetes darah-darah kami. Tidak ada
satu tetes pun darah kaum muslimin yang gratis”. Artinya, kasus tersebut
menimbulkan dendam di kalangan keluarga dan kelompok para terduga teroris
tersebut. Sama halnya dendam para polisi dan keluarganya ketika ada polisi yang
dibunuh oleh teroris. Dalam hal seperti itu, Dom Helder Camara mengatakan,
“Ketika kekerasan disusul dengan kekerasan, dunia jatuh ke dalam spiral
kekerasan.”
Kejadian tersebut bukan satu-satunya
kejadian. “Perang” antara Kepolisian dan para teroris sudah lama terjadi. Kita
tentu masih ingat gembong teroris bernama Azhari asal Malaysia juga berhasil
dibunuh oleh pasukan polisi.
Jejak terorisme
Masalah teror tersebut bukanlah masalah
lokal. Jaringan teroris yang ada di Indonesia merupakan bagian dari jaringan
global. Lalu, mulai kapan terjadi teror yang kemudian menjadi jaringan
terorisme global? Dengan keterbatasan pengetahuan sejarah saya, akan saya coba
memulainya dari titik sejarah kolonialisme dunia.
Namun pertama-tama saya perlu saya sampaikan
sebuah hipotesis bahwa spiral teror di dunia yang paling sulit dipatahkan
adalah karena faktor agama dan ideologi, sedangkan faktor warna kulit ataupun
etnis cenderung lebih mudah berakhir. Barangkali karena faktor warna kulit dan
etnik bisa perlahan-lahan lenyap dengan pembauran maupun perkawinan antar
etnik.
Johan Galtung (1996), intelektual Amerika
Serikat yang menentang invasi rezim Bush ke Irak, dalam bukunya ia bertanya: di
mana kita dapat menemukan kunci kekerasan? Ia menjawab sendiri, bahwa kuncinya
ada pada agama dan ideologi, karena orang membunuh dengan alasan agama dan
ideologi. Namun Galtung juga menyatakan bahwa tidak semua agama bersifat keras.
Ada agama yang menganjurkan nonkekerasan.
Menurut saya, teori Galtung itu perlu sedikit
diluruskan, bahwa pada agama dan ideologi terdapat tafsir yang bermacam-macam,
terdapat mazhab-mazhab pemikiran/tafsir, sehingga dalam sebuah agama juga
terdapat mazhab keras dan mazhab nonkekerasan. Begitu pula dalam ideologi juga
terjadi yang namanya pembaharuan-pembaharuan maupun mazhab. Marxisme dalam
pandangan Soekarno contohnya berbeda dengan Marxisme dalam pandangan Muso. Liberalisme
juga mengalami perubahan dengan adanya neoliberalisme. Pancasila di tangan
Soekarno berbeda tafsir dengan Pancasila di tangan Soeharto. Dengan demikian,
terkait dengan agama dan ideologi, kekerasan terjadi lebih didasari pada
paradigma, watak manusia dan motifnya dalam melakukan kekerasan. Ambisi
kekuasaan, baik secara politik atau ekonomi menjadi motif dominan dalam
terorisme.
Jika kita bertanya, kapan manusia mulai
melakukan teror? Kitab-kitab suci agama sudah menggambarkan bagaimana perilaku
raja-raja kejam yang meneror rakyatnya sehingga memunculkan perlawanan yang
dipimpin para nabi atau rasul yang perlawanan itu juga dengan kekerasan. Dalam
kitab Ramayana terjadi perang habis-habisan hingga memunahkan salah satu pihak,
tentu dengan kekerasan. Hal itu terjadi karena adanya saling teror, seperti
contohnya Rahwana yang menculik Sinta, lalu Hanoman membakar Alengka.
Dalam sejarah kekuasaan Alexander Agung di
kerajaan Makedonia melakukan perluasan wilayah kekuasaannya dengan menyerang
negara-negara atau bangsa lainnya, tentu dengan kekerasan alias teror. Lalu
kerajaan Romawi kuno di Eropa meluaskan wilayah kekuasaannya sampai ke luar
Eropa juga dengan kekerasan-kekerasan dan pembunuhan-pembunuhan. Begitu pula
kekhalifahan Bani Umayah dan Bani Abasyiah melebarkan kekuasaannya hingga ke
sebagian Eropa juga dengan menyerang dan membunuhi bangsa-bangsa yang tidak mau
tunduk sukarela. Hingga terjadi Perang Salib yang begitu lama, juga terjadi
saling teror.
Setelah Eropa gemilang dengan perkembangan
ilmu pengetahuan maka terjadi Revolusi Industri di Inggris, selanjutnya Inggris
melakukan kolonialisasi ke seluruh dunia juga dengan teror-teror dan kekerasan
kepada bangsa-bangsa lain yang tidak mau dikuasai. Rekan-rekan Inggris seperti
Spanyol, Portugis, Belanda juga melakukan hal yang sama, menguasai dan meneror
bangsa-bangsa lain di dunia. Pembasmian terhadap bangsa Indian dan Aborigin
adalah teror yang termasuk terbesar dalam sejarah manusia. Tetapi bangsa Indian
dan Aborigin mungkin tidak lama menyimpan dendam kepada bangsa kulit putih
karena telah banyak terjadi rekonsiliasi dan pembauran. Kita lupa untuk
menyebut bahwa bangsa Indian dan Aborigin serta bangsa kulit hitam di Afrika
Selatan adalah bangsa yang paling sabar di dunia.
Agama dan ideologi menjadi alat untuk
mengobarkan perang atau teror. Kolonialisme Eropa ke seluruh dunia terkenal
dengan misi gold, glory and gospel.
Ada cita-cita kekayaan, kejayaan dan penyebaran agama. Kapitalisme menjadi
ideologi tentang cita-cita kemakmuran yang paling kejam, hingga sekarang. Ia
bisa menguasai para pemuka agama dan para pemuka negara.
Dalam sejarah Eropa, bukan hanya kapitalisme
yang meneror dunia, tetapi Marxisme mazhab Stalisnisme di Soviet juga
melakukan teror. Siapapun yang menjadi oposisi Stalin akan dibunuh. Siapa yang
bertindak sebagai oposisi dianggap sebagai oposan sejarah, ahistoris, ahuman.
Galtung mengategorikan ini sebagai homo
stalinensis.
Dengan menelisik jejak sejarah terorisme
tersebut, kita dapat mengambil sebuah gambaran bahwa sebenarnya terorisme sudah
menjadi bagian sejarah manusia sejak kuno hingga modern ini, terutama dengan
motif kekuasaan, baik kekuasaan ekonomi, politik dan agama. Ideologi hanya
menjadi alat.
Pada zaman Perang Dingin, setelah berakhirnya
kolonialisme maka muncul neokolonialisme. Pada masa Perang Dingin tersebut
Amerika Serikat (AS) mempunyai agenda atau kepentingan membendung bahkan
menghabisi komunisme. Karena itu, AS juga membantu para gerilyawan Afghanistan
dari segi dana, peralatan maupun latihan militer, dalam melawan pendudukan
Soviet di Afghanistan sejak 1979.
Turut membantu Afghanistan waktu itu juga
Arab Saudi, Pakistan dan Cina. Osama bin Laden dari Arab Saudi yang kemudian
dikenal sebagai pemimpin AlQaeda termasuk pejuang muslim luar Afghanistan yang
membantu perjuangan gerilyawan Mujahidin di Afghanistan, meskipun konon waktu
itu partisipasi Osama bin Laden tidak termasuk program bantuan CIA kepada
Mujahiddin.
Dalam berita BBC.co.uk tanggal 20 Juli 2004
dijelaskan bahwa Osama bin Laden merupakan penghubung bantuan AS dan Arab Saudi
kepada Mujahiddin Afghanistan. Menurut beberapa analisis, Osama bin Laden
dilatih oleh CIA. Artinya, sebenarnya organisasi AlQaeda yang disebut sebagai
organisasi teroris dunia itu pada mulanya merupakan sekutu AS dalam memerangi komunis
Soviet di Afghanistan.
Lalu mengapa kini “seolah” AS menjadi musuh
besar AlQaeda? Itu bukan perkara sulit untuk dijawab, sebab setelah
kepentingannya berseberangan maka sekutu bisa menjadi lawan. Saat Perang Teluk,
AS membantu Irak melawan Iran. Saat itu Saddam Husein menjadi sekutu AS. Tapi
kemudian AS menghabisi rezim Saddam Husein setelah dianggap perlu bagi AS untuk
memusnahkannya.
Setelah Soviet jatuh, otomatis kekuasaan
rezim homo americanus alias homo occidentalis in extrimis (pinjam
istilah Galtung) ini perlu alasan-alasan untuk meyakinkan keamanan negaranya
dan harus punya alasan-alasan untuk “menaklukkan” bangsa-bangsa lain yang
menjadi targetnya. Jika kali ini gagal di Suriah karena dijegal Rusia dan
sekutunya maka masih ada waktu dan tenpat lainnya yang harus digarap.
Terorisme abadi
Sistem kerja intelejen global mengenal yang
namanya sel terputus. Firqoh-firqoh Islam garis keras yang dididik melakukan
kekerasan, berasal dari pesantren-pesantren yang sumber dananya misterius,
dengan tafsir dalil-dalil agama yang mengarah pada kekerasan bisa mungkin
merupakan sel-sel jaringan yang terputus, yang tidak disadari oleh mereka yang
didoktrin menjadi para syuhada dengan janji-janji surga dengan para bidadarinya
yang cantik.
Terorisme di Indonesia merupakan bagian dari
jaringan global itu. Saya yakin, hukum nasional ini tidak pernah akan dapat
menyelesaikan perkara-perkara terorisme. Segala tindakan pemberantasan
terorisme juga tidak akan berhenti begitu saja, sebab terorisme akan terus
berjalan. Selama para pejuang pelawan terorisme tidak pernah bisa tahu asal
bantuan/dana dan tidak mampu menghentikan pasokan dana-dana misterius terhadap
sekolah-sekolah kekerasan itu maka produk-produk kekerasan akan terus berjalan.
Dendam-dendam
kesumat di tingkat-tingkat bawah terus membara. Perang akan terus berlanjut.
Itulah program dari para “lelembut” yang tidak tampak dilihat dengan mata
biasa.
Sebenarnya terorisme bukan hanya berupa teror
langsung dengan akibat langsung. Kita juga mengalami ecoterorism, seperti contohnya pembasmian
pemukiman di wilayah konsesi Blok Brantas Sidoarjo yang dikenal dengan kasus
lumpur Lapindo, kasus pembasmian pemukiman di sekitar Buyat Pante Sulawesi
Utara di wilayah konsesi Newmont, kasus pembasmian kultur dan komunitas di wilayah
konsesi Freeport di Papua, juga teror terhadap warga Aceh di wilayah konsesi
Exxon, dan lain-lain. Kasus-kasus teror oleh tirani kapitalisme begitu akan
abadi. Dan kita harus mengakui, tidak bisa berbuat apa-apa!